Heroes Myspace Comments

Welcome to the Jungle

PRAPATAN SPS
Catatan Berkeliling Nusantara

Burung di Arboretum 1

adhyws | Rabu, Juni 29, 2011 | ,


I.       PENDAHULUAN
1.1       Latar Belakang
            Populasi merupakan sekumpulan individu dari mahkluk sejenis yang hidup pada sistem ekologi. Pada spektrum ekologi, populasi sangat penting untuk dipelajari, selain untuk tujuan konservasi, studi pada tingkat populasi juga penting untuk kepentingan kesejahteraan manusia. Populasi burung dalam hal ini penting untuk diketahui untuk mengetahui dinamika kelimpahannya dari waktu ke waktu.
            Ada beberapa metode dan tehnik studi populasi burung yang dapat digunakan dalam menghitung populasi burung ini, dan penyesuaian metode serta tekhnik yang akan digunakan disesuaikan denagn maksud dan tujuan dari penelitian itu sendiri. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah dalam menghitung populasi burung adalah metode Point Count (Titik Hitung).
            Ada banyak alasan yang dapat mendasari dilakukannya sensus populasi burung dan dalam hal ini kami melakukannya dalam rangka melatih kami untuk menghitung populasi burung di suatu habitat serta untuk mengetahui pengaruh dari keadaan habitat terhadap jenis-jenis burung yang terdapat di lokasi pengamatan.
            Dalam Kuliah Lapangan ini metode yang kami gunakan adalah metode point count dan ini karena keterbatasan waktu yang kami miliki sehingga metode yang paling efektif untuk mengetahui populasi burung di daerah pengamtan kami memang adalah metode point count.

1.2       Identifikasi Masalah
            Permasalahan yang ingin diketahui adalah:
1)      Jenis burung apa sajakah yang terdapat pada area yang diamati ?
2)      Berapakah kepadatan dan populasi jenis-jenis burung di area tersebut ?
3)      Jenis burung apa saja yang tersebar secara luas ?
4)      Berapakah kelimpahan jenis burung ?
5)      Jenis burung apakah yang memiliki dominansi tertinggi ?
1.3       Maksud, Tujuan dan Kegunaan Praktikum
            Tujuan dari praktikum ini adalah untuk menghitung populasi jenis burung di suatu area. Sedangkan kegunaannya adalah untuk mengetahui jumlah populasi burung di suatu daerah dan kelimpahan, keanekaan, dan distribusi jenis-jenis burung tersebut.

1.4              Waktu dan Tempat
Praktikum sensus populasi burung ini dilakukan di Arboretum Universitas Padjadjaean dengan lokasi pengamatan yang telah ditentukan. Dan praktikum ini dilakukan pada hari.....
II.      TINJAUAN PUSTAKA
          Burung merupakan organisme yang mempunyai kekhasan bentuk dan morfologi berupa tubuh yang bersayap dan diselubungi bulu, umumnya mempunyai kemampuan terbang, mempunyai paruh, 2 pasang anggota gerak berpasangan, rangka dari tulang sejati, bernafas dengan paru-paru, jantung 4 ruang (2 atrium dan 2 ventrikel), homoiotermis, fertilisasi internal  dan tidak mempunyai kandung kemih.
            Ciri-ciri yang merupakan karakteristik dari burung antara lain :
  1. Suhu tubuhnya yang tetap (homoithermis), karena burung memiliki pusat pengatur suhu tubuh.
  2. Alat-alat penglihatan, pendengaran, dan alat suaranya berkembang dengan baik.
  3. Mempunyai kemampuan melindungi dan memelihara anak-anaknya hingga waktu berlalu.
  4. Pada bagian ekornya terdapat bulu-bulu ekor dan kelenjar uropigial yang berfungsi untuk meminyaki bulu-bulunya agar tetap licin sehingga baik untuk terbang dan terlindungi dari kerusakan bulu akibat basah oleh air.
  5. Rahang bermodifikasi menjadi paruh yang bentuknya bervariasi menunjukkan adanya kemampuan adaptasi morfologis dari burung untuk mendapatkan makanannya.
  6. Pembuahannya terjadi secara internal.
(Neil Ardley, 1979)
            Jika dibandingkan dengan kelas-kelas lain dalam dunia vertebrata, aves menunjukkan suatu kemajuan yang nyata karena mempunyai :
  1. Isolasi penutup tubuh
  2. Pemisahan ruang jantung yang sempurna
  3. Pengaturan temperatur tubuh
  4. Taraf metabolisme yang tinggi
  5. Kemampuan untuk terbang
  6. Perkembangan suara, pendengaran dan penglihatan yang tinggi
  7. Mempunyai sifat maternal atau pemeliharaan yang khusus terhadap anak.
Burung merupakan jenis yang jumlahnya paling banyak di antara hewan vertebrata. Jumlah jenis burung yang hidup saat ini masih diperdebatkan, namun menurut persetujuan pada tahun 1975, ada sejumlah 9.016 burung yang terdapat di seluruh dunia. Dan ahli ornithology mengklasifikasikannya dalam 158 suku. (Mackinnon, 1992)
            Ada tiga metode yang dapat digunakan pengamat untuk memanggil burung agar dapat mau menampakkan diri, yaitu:
1.                  Pishing (atau spishing), yaitu menirukan bunyi desis, mencicit, atau suara parut. Hal ini dapat membuat marah burung-burung kecil yang suka bersembunyi, sehingga menyahut atau bahkan muncul dari tempat persembunyian, untuk memeriksa sumber suara tersebut.
2.                  Menirukan suara burung belukwatu atau jenis elang kecil sehingga memancing burung-burung kecil untuk datang berkerumun.
3.                  Menggunakan rekaman suara dari tape recorder, yang menimbulkan reaksi teritorial dari burung bersangkutan, sehinggga mau menghampiri.
( Mac Kinnon, J dan kawan-kawan, 1992 )
            Identifikasi seekor burung berdasarkan pada kombinasi dari beberapa ciri khas, termasuk penampakan umum, suara, dan tingkah laku. Jika penting untuk mencocokkan sebanyak mungkin bagian burung, terutama ciri-ciri diagnostik, jika diketahui. Sifat yang paling mencolok, misalnya garis putih pada ekornya. Dalam mengecek petunjuk di lapangan, seorang pengamat harus mengingat sekali ciri-ciri khusus dari burung yang diamati.
( Mac Kinnon dan kawan-kawan, 1992 )      
            Jika ada burung yang belum dikenal atau burung jenis baru, sebaiknya dibuat sketsa dalam buku catatan. Sketsa tesebut tidak perlu terlalu indah, yang penting tergambarkan berbagai ciri rinci, seperti ukuran, bentuk, panjang paruh, adanya jambul (hiasan pada bagian atas kepala) atau ciri lain, warna bulu, panjang sayap dan ekor, warna kulit muka yang tidak berbulu, juga warna paruh mata, dan kaki, serta berbagai ciri lain yang tidak umum.
(MacKinnon dan kawan-kawan, 1992)
            Pengamatan yang baik adalah dengan berjalan lambat melewati hutan dan berusaha untuk tidak melewatkan satu pun objek pengmatan.sikap ini cocok sekali meneliti jenis burung pada tajuk dan pada beberapa burung permukaan tanah.
(MacKinnon dan kawan-kawan, 1992)

2.1       Populasi burung
            Populasi burung sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain natalitas, mortalitas, penyebaran umur, potensi biotik, dispersi, dan bentuk pertumbuhan atau perkembangan. (Odum, 1996).
            Ada 3 bentuk penyebaran populasi yaitu emigrasi, imigrasi dan migrasi. Penyebaran membantu natalitas dan mortalitas di dalam memberi wujud bentuk pertumbuhan dan kepadatan populasi.
Dalam melakukan studi tentang suatu populasi burung, harus diketahui bahwa ada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi populasi burung, di antaranya :
  1. Perubahan cuaca
  2. Bencana alam
  3. Predator
  4. Persediaan makanan
  5. Penyakit
  6. Parasit sarang
  7. Misbah sex yang abnormal
  8. Tingkah laku teritorial
  9. Aktivitas manusia
(Yus Rusilo, 1987)

2.2       Morfologi
            Bentuk tubuh burung umumnya spindle-shape atau gelondong benang. Bentuk tersebut memudahkan burung untuk menembus udara ketika terbang atau menembus air. Burung memiliki warna bulu yang beraneka ragam dan menarik perhatian. Hanya sedikit burung yang mempunyai satu warna saja, seringkali warnanya menyerupai warna sekelilingnya. Burung-burung dari daerah yang kering biasanya mempunyai warna yang cenderung pucat, sedangkan burung dari daerah lembab warnanya lebih gelap.
            Pada mulanya sayap burung yang lebar hanya untuk melayang dan baru dipergunakan untuk terbang yang sebenarnya, setelah bulu sayapnya berkembang semakin lebar, ringan dan bersusun rapat. Bulu merupakan rahasia keberhasilan burung, tidak hanya karena memberikan daya terbang pada burung-burung yang pertama melainkan juga memberikan kehangatan dalam memelihara suhu badan. Modifikasi bulu burung masa kini, ada yang berubah fungsi menjadi lapisan yang kedap air, sebagai alat perasa, berwarna cerah atau berburik-burik untuk mengikat dan menyamar. Karena sayap digunakan untuk terbang, burung kehilangan fungsi tangan dan menjadi makhluk berkaki dua. Selain itu tulang burung berevolusi menjadi berongga berisi udara atau lebih ringan, tulang punggungnya menjadi lebih pendek dan menyatu, paruhmya terbentuk dari zat tanduk yang ringan dan tidak bergigi. (MacKinnon, 1995)
            Suku-suku burung tersebut tampil dengan aneka warna yang cerah, kadang-kadang sangat menakjubkan dan beradaptasi dengan beragam cara hidupnya. Biarpun mereka terlihat sangat berbeda, sebenarnya mereka merupakan variasi dari model yang sama. Misalnya paruh bisa berbentuk panjang dan tajam untuk merobek ikan, misalnya pada cangak. Pendek dan berkait untuk merobek daging, misalnya pada elang. Ramping untuk mencari makan dengan menusuk bunga, seperti pada burung pengisap madu, tajam dan kuat untuk melubangi kayu pada burug pelatuk, kokoh dan kuat untuk membuka biji-bijian seperti pada betet atau mungil seperti perenjak untuk memakan serangga dan lain-lain. (MacKinnon, 1995).

2.3       Habitat burung 
            Habitat suatu organisme adalah tempat organisme itu hidup atau tempat kemana seseorang harus pergi untuk menemukannya. Habitat dapat juga menunjukkan tempat yang diduduki oleh seluruh komunitas. (Odum, 1996). Habitat burung adalah habitat dimana tempat burung itu hidup. Kondisi alam yang terdapat dalam habitat, menentukan jenis burung yang hidup di dalamnya. Struktur tubuh burung, perilaku dan sejarah evolusinya berhubungan erat dengan kondisi lingkungan dimana mereka tinggal. Burung tidak memanfaatkan seluruh keadaan habitatnya. Tidak digunakannya suatu bagian habitat oleh jenis satwa tertentu ditentukan oleh perilaku individu dalam menyeleksi habitatnya.
            Faktor yang mempengaruhi seleksi habitat dibedakan atas faktor dalam dan faktor luar tubuh satwa. Faktor-faktor dalam tubuh satwa meliputi sifat-sifat yang diturunkan dan perilaku satwa yang dipelajari dari kebutuhan satwa akan suatu kebutuhan tertentu. Faktor lainnya berupa kenyamanan (suitability) tempat yang berkaitan dengan ada atau tidaknya predator  dan competitor di tempat tersebut. Setiap jenis burung mempunyai  luas penyebaran yang berbeda-beda pada setiap jenis. Beberapa jenis menempati teritori yang kecil serta tetap dan lambat berpencar untuk menempati daerah baru. Jenis lain mempunyai ruang lingkup pergerakan yang lebih luas.
            Faktor-faktor yang menentukan luas penyebaran suatu jenis burung adalah :
1.      Keberadaan habitat yang sesuai
2.      Keberadaan faktor penghalang yang mencegah keluarnya burung dari suatu daerah
3.      Ketersediaan sumber daya yang bersifat kritis seperti tipe makanan spesifik
4.      Interaksi kompetitif dengan suatu jenis yang memiliki hubungan dekat atau dengan jenis yang sama secara ekologis.
5.      Faktor-faktor iklim yang mempengaruhi tekanan fisiologis
6.      Kemampuan suatu daerah untuk menampung daerah jelajah suatu individu atau mendukung populasinya
7.      Kesempatan
8.      Faktor sejarah

2.4       Keanekaan jenis burung
            Keanekaan jenis adalah suatu karakteristik tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologisnya yang dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas. Keanekaan jenis mempunyai sejumlah komponen yang dapat memberikan reaksi yang berbeda-beda terhadap faktor geografi dan perkembangan fisik, salah satu komponen utama tersebut adalah kakayaan jenis. Cara sederhana menghitung keanekaan jenis adalah menghitung jumlah jenis yang ditemukan pada suatu daerah.
            Komunitas lingkungan yang mantap seperti hutan tropik mempunyai keanekaan jenis yang lebih tinggi daripada komunitas-komunitas yang dipengaruh oleh gangguan-gangguan musiman atau secara periodik yang dilakukan oleh manusia atau alam. Keanekaan jenis cenderung rendah dalam ekosistem yang terkendali secara fisik dan tinggi dalam ekosistem yang diatur secar biologi.
            Hubungan antara habitat dengan keanekaan jenis burung sangat erat. Jika faktor keanekaan pendukung kehidupan burung nilainya kecil, akan sebanding dengan kecilnya keanekaan jenis burung yang hidup di dalamnya atau sebaliknya.
            Ada 3 faktor yang mempengaruhi kehidupan burung yaitu :
  1. Faktor fisik seperti, suhu, ketinggian, dan kelembaban
  2. Habitat seperti tempat makan, tempat istirahat dan jenis vegetasi
  3. Interaksi sosial burung sejenis

2.5       Perilaku sosial burung
            Perilaku sosial burung berubah sesuai dengan relung tempat mencari makan di samping tingkah laku berbiak dan kebiasaan umum lainnya. Biasanya burung hidup berpasangan, yaitu jantan dan betina yang mempertahankan teritorinya. Pasangan ini membagi tugas dalam mengasuh anaknya, misalnya Kucica. Jenis lain hidup dalam kelompok kecil, terdiri dari kerabat dekat atau kelompok yang terpecah menjadi pasangan yang berbiak, contoh burung Beo. Burung Pipit lebih suka hidup dalam kelompok besar. Beberapa jenis menganut poligami seperti ayam hutan dimana beberapa ekor betina dilayani oleh seekor jantan, tetapi sang jantan tidak ikut mengasuh anaknya. Ada juga yang hidup secara poliandri yaitu beberapa jantan mengawini satu betina misalnya pada Bleke kembang dan masih banyak lagi.

III.    METODOLOGI
3.1       Metode Umum
            Metode yang digunakan pada praktikum ini adalah metode point count yaitu suatu penghitungan data burung yang dilakukan dari lokasi dan rentang waktu yang telah ditentukan dengan pasti dan jarak perhitungannya tidak terbatas.
3.2       Alat dan Bahan
  1. Alat tulis
Untuk mencatat data.
  1. Buku Panduan Burung
Untuk mengidentifikasi jenis burung.
  1. Golok 
Untuk memotong tanaman yang menghalangi jalan.
  1. Jam tangan atau stopwatch    
Untuk menghitung lamanya waktu pengamatan.      
  1. Kamera
Untuk dokumentasi.
  1. Kompas dan GPS
Untuk menentukan titik koordinat.
  1. Meteran
Untuk mengukur jarak antar titik pengamatan.
  1. Tape recorder 
Untuk merekam suara burung.
  1. Teropong Binokuler               
Untuk mengamati burung.

3.3       Metode Pengumpulan Data
3.3.1    Teknik Pengumpulan Data
            Metode ini dapat dilakukan setiap waktu dan tidak dibatasi oleh musim kawin. Titik-titik point count dapat ditentukan dalam plot studi dengan cara sistematik (contoh: pada grid) atau acak (random), bertingkat atau tidak.
            Antar titik sebaiknya tidak saling berdekatan, agar individu suatu jenis tidak terhitung lebih dari satu kali di titik yang lain. Jarak minimum antar titik yang dianjurkan adalah 200 m. Jika jarak antar titik terlalu jauh maka waktu akan habis untuk berpindah dari titik yang satu ke titik yang lain. Sedangkan jumlah titik hitung yang baik adalah lebih dari 20 titik untuk setiap plot studi, titik hitung tidak cocok untuk daerah studi yang kecil. Jarak pengamat ke burung bisa sampai jarak yang tidak terbatas atau dalam jarak 25 m dari pengamat (hutan yang rapat) atau 50 m (daerah yang cukup terbuka). Waktu yang dibutuhkan untuk menghitung burung di satu titik hitung adalah sekitar 3-10 menit, tergantung tipe habitatnya, namun biasanya peneliti yang berpengalaman menggunakan waktu 5 menit. Di hutan hujan tropis waktu yang dibutuhkan bisa lebih dari 10 menit. Burung yang dicatat adalah burung yang terlihat dan terdengar suaranya.
         Terdapat asumsi-asumsi yang digunakan pada point count ini, yaitu:
a.      Burung tidak mendekati pengamat atau terbang
b.      Burung dapat terdeteksi 100% oleh pengamat
c.      Burung tidak banyak bergerak/pindah selama periode penghitungan
d.      Burung berperilaku secara bebas dari individu/jenis lainnya
e.      Gangguan pada asumsi di atas tidak berinteraksi dengan habitat atau elemen dari desain studi
f.       Perkiraan jarak akurat
g.      Burung benar-benar dapat diidentifikasi secara tepat

3.3.2    Tata Cara/Prosedur/Waktu/Lokasi Pengumpulan Data
  1. Habitat yang akan dicuplik ditentukan
  2. Titik-titik yang akan dicuplik pada suatu habitat ditentukan. Dapat secara acak (random) atau secara sistematis. Minimal jumlah titik hitung adalah 20 titik. Dengan jarak antar titik kurang lebih 300 langkah.
  3. Pada titik-titik hitung yang telah ditentukan sebelumnya kemudian dilakukan pengamatan. Dengan waktu pengamatan di setiap titik maksimal 10 menit.
  4. Pada setiap titik hitung, jarak pengamatan adalah dalam 25 meter atau lebih
  5. Jenis burung yang teramati dan terdengar dicatat
  6. Satu individu burung dihitung satu per satu dan penghitungan hanya dilakukan satu kali
  7. Perkiraan posisi individu burung yang  diamati dan terdengar (meter) dihitung dengan membuat catatan dibagi empat bagian. Bila burung berpindah tempat maka jarak yang dihitung adalah jarak pertama kali terlihat.

3.4       Analisis Data
3.4.1    Analisis Data Lapangan
Kelimpahan dan dominansi jenis burung
Kelimpahan (abundance) adalah jumlah individu dari suatu spesies pada suatu tempat tertentu terhadap seluruh individu dari seluruh spesies. Analisis kelimpahan dilakukan terhadap setiap jenis burung yang tercatat dalam plot pengamatan. Kelimpahan dibedakan menjadi 2 macam yaitu, kelimpahan mutlak dan kelimpahan relatif. Untuk mengetahui kelimpahan burung akan dihitung dengan menggunakan rumus Jorgensen (1974) dalam Van Helvoort (1981):
 
Keterangan:     Ab = Kelimpahan dari jenis i (%)
                        Ni  = Jumlah individu jenis i
                        n    = Jumlah total individu seluruh jenis
Nilai kelimpahan relatif jenis burung dapat menyatakan dominansi suatu jenis terhadap jenis lainnya. Dominansi setiap jenis burung dapat diklasifikasikan menjadi 3 penggolongan, yaitu tidak dominan (Ab: < 2%), subdominan (Ab: 2-5%), dan dominan (Ab: >5%). Dari analisis data didapatkan dominnansi keseluruhan, dan dominansi secara horizontal (per habitat).

Penyebaran burung
Untuk mengetahui sebaran spesies burung dapat dilihat dari parameter frekuensi. Frekuensi adalah parameter yang menyangkut tingkat keseragaman terdapatnya individu suatu spesies didalam suatu daerah. Dengan kata lain frekuensi merupakan parameter yang menunjukkan luas tidaknya penyebaran suatu spesies pada lokasi tertentu. Frekuensi ada 2 macam, yaitu Frekuensi Mutlak (Fm) dan Frekuensi Relatif (Fr). Frekuensi Mutlak adalah menunjukkan perbandingan luasnya penyebaran suatu spesies dengan spesies lainnya dilokasi tertentu. Perhitungan frekkuensi relatif dilakukan dengan rumus:
Keterangan:     Fr   = Frekuensi relatif (%)
                        Fm = Frekuensi mutlak
Semakin tinggi nilai Fr menunjukkan semakin merata penyebaran suatu jenis di suatu lokasi. Yang dimaksud frekkuensi mutlak adalah jumlah kehadiran atau ditemukannya suatu spesies burung dari seluruh nomor cuplikan dan frekuensi adalah jumlah individu suatu spesies burung yang terlihat atau teramati di setiap nomor cuplikan.


















4.2       Pembahasan
Burung-burung yang ditemukan:
ASI TOPI-SISIK (Malacopteron cinereum)
Deskripsi:
Berukuran kecil (15 cm), bermahkota merah, burung asi berwarna coklat. Mahkota merah karat atau merah karat bersisik hitam; burung di Jawa tengkuknya merah, hitam di Kalimantan dan Sumatera; tubuh bagian bawah putih, keabu-abuan di sisinya; ekor coklat kemerahan. Iris coklat; paruh atas hitam, bawah merah jambu; kaki kemerahjambuan.
Suara:
Empat sampai enam nada tipis, meninggi dalam nada minor.
Penyebaran global:
Asia Tenggara, Semenanjung Malaysia, Sunda Besar.
Penyebaran lokal dan status:
Di Sumatera (termasuk pulau-pulau di sekitarnya) dan Kalimantan (termasuk Natuna) merupakan burung yang umum di hutan-hutan dataran rendah terbatas sampai 1.200 m. Di Jawa tersebar terbatas di sepanjang pesisir selatan. Tidak tercatat di Bali.
Kebiasaan:
Sering mengunjungi hutan-hutan pantai, dan hutan primer serta perbukitan yang rendah. Berjalan-jalan dalam kelompok kecil melewati lapisan bawah hutan di mana burung ini berlaku lincah dan ribut.

BERENCET BERKENING (Nopothera epilepidota)
Deskripsi :
            Berukuran sangat kecil (11 cm), ekor pendek, berbulu halus warna coklat dengan alis mata pendek, putih, terlihat jelas. Warna umum coklat kemerahan tetapi burik hitam dan tangkai bulunya pucat mencolok; dagu dan tenggorokan putih kekuningan; tengah perut putih; tubuh bagian bawah kuning tua burik. Terdapat dua bentuk warna: bersisik kuning tua putih atau merah karat di tubuh bagian bawahnya. Iris coklat; paruh coklat; kaki coklat pucat.
Suara:
            Siulan nyaring datar ”piiiow” selama satu detik; ocehan ”cikete-cirrk-cikete-..” yang sibuk.
Penyebaran global:
            Assam sampai Cina Barat daya, Asia Tenggara, Semenanjung Malaysia dan Sunda Besar.
Penyebaran lokal dan status:
            Di Sumatera agak umum di sepanjang Bukit Barisan dari 900 – 1.200 m. Kelihatannya penetap yang jarang di perbukitan di Kalimantan bagian Utara, dimana ditemukan dari G. Kinabalu ke Selatan sampai DAS Kapuas dan Mahakam; juga di Nyiut, Hulu Barito, dan Kayan Mentarang. Di Jawa umum terdapat, dan di hutan pegunungan antara 1.000 – 2.000 m; tidak tercatat di Bali.
Kebiasaan:
            Pemalu, burung yang tidak mencolok di tumbuhan bawah yang rapat.

BONDOL JAWA (Lonchura leucogastroides)
Deskripsi:
Bondol agak kecil (11 cm), berwarna hitam, coklat, dan putih, bertubuh bulat. Tubuh bagian atas coklat tanpa coretan, muka dan dada atas hitam; sisi perut dan sisi tubuh putih, ekor bawah coklat tua. Perbedaannya dengan Bondol perut-putih: bersih antara dada hitam dan perut  putih, sisi tubuh putih (bukan coklat). Iris coklat, paruh atas gelap, paruh bawah biru, kaki keabu-abuan.
Suara:
Cicitan lembut: ”cii-i-i”, ”prrit” yang khas, serta suara dalam kelompok: ”pi-i” yang melengking.
Penyebaran global:
Sumatera, Jawa, Bali, dan Lombok. Diintroduksi ke Singapura.
Penyebaran lokal dan status:
Umum di beberapa tempat di ujung paling selatan Sumatera, mungkin diintroduksi atau datang dari Jawa. Di Jawa dan Bali, sangat umum dan tersebar luas, sampai ketinggian 1.500 m.
Kebiasaan:
Mengunjungi semua jenis lahan pertanian dan lahan berumput alami. Membentuk kelompok selama musim panen padi, tetapi biasanya hidup berpasangan atau dalam kelompok kecil. Mencari makan di atas tanah atau memetik biji dari bulir rumput. Menghabiskan banyak waktunya dengan bersuara kerikan gaduh dan menyelisik di pohon-pohon besar.

BURUNG MADU JAWA (Aethopyga mystacalis)
Deskripsi :
            Berukuran kecil (12 cm termasuk ekornya yang panjang), berwarna merah terang (jantan). Jantan : mahkota, setrip malar, dan ekor yang panjan ungu gelap mengilap; kepala, dada dan punggung merah padam, tunggir kuning muda, sayap berwarna zaitun, perut abu-abu muda. Perbedaannya dengan burung madu sepah raja: dahi merah, ekor lebih panjang, dan perut putih. Betina: sangat kecil, warna abu-abu zaitun buram. Ciri khasnya: sapuan merah pada sayap dan ekor. Iris coklat tua, paruh dan kaki coklat.
Suara :
            Lembut, berdering : ”tziip-tziip.... ”. Yang diulangi terus-menerus.
Penyebaran global :
            Endemik di Jawa
Penyebaran lokal dan status :
            Cukup umum terdapat di hutan dan pinggir hutan, sampai ketinggian 1.600 meter di Jawa. Di Bali tidak tercatat.
Kebiasaan :
            Hidup berpasangan, agak ribut. Hingga pada tajuk atas, sering mengunjungi bunga benalu.





CABAI POLOS (Dicaeum concolor)
Deskripsi:
Berukuran sangat kecil (8 cm), tidak termasuk salah satu jenis tertentu. Tubuh bagian atas hijau-zaitun, tubuh bagian bawah keabu-abuan pucat dengan perut tengah krem, ada lempeng putih pada lengkung sayap. Perbedaannya dengan Cabai gesit dan Cabai tunggir-coklat: paruh yang halus.
Suara:
Metalik: ”cip,cip...” sebagai suara kontak. Kicauan ”ci-ci-ci-ci-cit” meninggi, mirip Cabai bunga-api, tetapi kurang nyaring.
Penyebaran global:
India, Cina Selatan, Asia Tenggara, Semenanjung Malaysia, dan Sunda Besar.
Penyebaran lokal dan status:
Jarang tercatat di hutan perbukitan dan dataran rendah sampai ketinggian 1.500 m di Sumatera, Jawa, dan Bali (mungkin terlewatkan karena tertukar dengan betina burung cabai lain). Di Kalimantan, umum terdapat di Dataran Tinggi Kelabit, juga di beberapa tempat di Kalimantan bagian utara dan Kep. Natuna.
Kebiasaan:
Khas burung Cabai, menghuni hutan perbukitan, tumbuhan sekunder, dan lahan pertanian, sering mendatangi rumpun benalu.

CERET GUNUNG (Cettia vulcania)
Deskripsi:
Berukuran kecil (13 cm), tanpa ciri khas yang jelas, berwarna coklat. Ekor memanjang, alis mata keputih-putiihan pucat. Tubuh bagian atas coklat tua dan zaitun kecoklatan. Tubuh bagian bawah putih kekuningan, ada sapuan coklat pada sisi tubuh dan melintasi dada. Iris coklat, paruh atas hitam, bawah kuning, kaki coklat.
Suara:
Nyaring, merdu, tetapi lama-lama monoton bergelombang: ”ci-hiiiiuw” atau ”ciiiuw-wii-ii-iit” dengan sedikit variasi. Juga ”trr, trr” sebagai nada peringatan.

Penyebaran global:
Sunda Besar, Lombok, dan Timor.
Penyebaran lokal dan status:
Di Sumatera, umum secara lokal antara ketinggian 2.000 – 3.4000 m di puncak tertinggi, dari G. Leuseur sampai G. Kerinci dan G. Dempu, tidak umum di Kalimantan dan terbatas di gunung-gunung di Kalimantan bagian utara, dari G. Kinabalu ke selatan sampai G. Murud, G. Mulu, dan Kayan Mentarang. Di Jawa dan Bali, umum di beberapa tempat di atas ketinggian 1.500 m.
Kebiasaan:
Hidup pada kerimbunan tumbuhan bawah hutan terbuka, biasanya di zona pegunungan atas, seperti hutan lumut, hutan Vaccinium terbuka, dan padang edelweis. Suka merangkak seperti tikus.

CIKRAK BAMBU (Abroscopus superciliaris)
Deskripsi:
Berukuran kecil (11 cm). Perut kuning dengan supersilium putih mencolok, dahi dan mahkota abu-abu; tengkuk dan punggung zaitun kehijauan; dagu, tenggorokan, dan dada atas putih, sisa tubuh bagian bawah kuning. Iris coklat, paruh kehitaman dengan pangkal keputih-putihan, kaki merah jambu.
Suara:
Nyanyian pendek merdu, biasanya terdiri dari tiga nada meninggi. Nada ”trrt” yang tajam.
Penyebaran global:
Himalaya Timur, Cina Selatan, Asia Tenggara, Semenanjung Malaysia dan Sunda Besar.
Penyebaran lokal dan status:
Cukup umum di dataran rendah dan bukit-bukit sampai ketinggian 1.500 m, di seluruh Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Di Bali tidak tercatat.
Kebiasaan:
Mengunjungi hutan sekunder di daerah berbambu. Biasanya hidup dalam kelompok kecil di rumpun semak rendah dan pohon bambu.
CIKRAK DAUN (Phylloscopus trivirgatus)
Deskripsi :
Berukuran agak kecil (11 cm), berwarna kuning dan hijau. Setrip mahkota tengah dan alis mata kekuningan mencolok. Tubuh bagian bawah kekuningan khas. Ras yang terbatas di G.Kinabalu: lebih abu-abu dan kurang kuning. Iris hampir hitam, paruh atas hitam, paruh bawah kemerahan, kaki keabu-abuan.
Suara:
Omelan yang tanpa irama sebagai tanda bahaya, nyanyian bernada tinggi tenang ”tsii-ci-ci-wiit”, dan variasi-variasi lain.
Penyebaran global:
Palawan, Semenanjung Malaysia, dan Sunda Besar.
Penyebaran lokal dan status:
Di Sumatera, Jawa, dan Bali, terbatas di hutan gunung antara ketinggian 800 – 3.000 m, tetapi melimpah di beberapa tempat. Di Kalimantan ditemukan di G. Kinabalu ke Selatan sampai Tama Abo, juga di pegunungan Penrissen dan Poi.
Kebiasaan:
Mengunjungi puncak pohon-pohon tinggi di hutan perbukitan dan pegunungan serta pinggir hutan sampai ke zona Alpin. Biasanya hidup dalam kelompok, berbaur dengan jenis lain. Mencari makan kebanyakan pada tajuk atau pepakuan dan anggrek epifit.

CINENEN JAWA (Orthotomus sepium)
Deskripsi:
Berukuran kecil (11 cm), berwarna abu-abu, berkepala merah karat. Jantan: mahkota, dagu, kerongkongan, dan pipi merah karat, bulu yang lain abu-abu, perut putih. Betina: kepala tidak semerah jantan, pipi dan kerongkongan atas putih. Iris coklat kemerahan, paruh coklat, kaki merah jambu.
Suara:
Terkenal karena variasi suaranya, termasuk suara monoton berulang, sama dengan suara Cinenen kelabu.
Penyebaran global:
Endemik di Jawa dan Bali.
Penyebaran lokal dan status:
Umum terdapat sampai ketinggian 1.500 m di Jawa dan Bali.
Kebiasaan:
Mengunjungi hutan terbuka, pinggir hutan, tumbuhan sekunder, dan rumpun bambu. Aktif di semak bawah dan pucuk pohon.

CINENEN PISANG (Orthotomus sutorius)
Deskripsi:
Berukuran kecil (10 cm). Mahkota merah karat, perut putih, ekor panjang dan sering ditegakkan. Dahi dan mahkota merah karat, akis kekuningtuaan, kekang dan sisi kepala keputih-putihan, tengkuk keabu-abuan. Punggung, sayap, dan ekor hijau-zaitun. Tubuh bagian bawah putih dengan sisi tubuh abu-abu. Bulu biak: bulu ekor tengah jantan lebih memanjang. Iris kuning tua pucat, paruh atas hitam, paruh bawah kemerahjambuan, kaki merah jambu.
Suara:
Sangat keras, berulang-ulang, ”te-cii-te-cii...” monoton, ”ciu-ciu-ciu...”, atau ”twii” tunggal, dan suara alarm:”tek-tek-tek...”.
Penyebaran global:
India sampai Cina, Asia Tenggara, Semenanjung Malaysia, dan Jawa.
Penyebaran lokal dan status:
Di Jawa, tersebar luas sampai ketinggian 1.500 m, tetapi keberadaannya tidak seumum Cinenen Jawa dan tidak begitu menentu.
Kebiasaan:
Mengunjungi hutan terbuka, hutan sekunder, dan pekarangan. Lincah, selalu bergerak atau dengan gagah mengeluarkan suara yang menusuk. Tinggal di semak bawah dan bersembunyi dalam kerimbunannya.



CUCAK GUNUNG (Pycnonotus bimaculatus)
Deskripsi:
Berukuran sedang (20 cm), berwarna coklat dan putih. Tungging kuning. Kekang dan bintik jingga khas di atas mata. Tubuh bagian atas coklat zaitun, tenggorokan dan dada atas coklat kehitaman. Dada bawah berbintik coklat dan putih, perut putih atau suram. Ras dari Jawa Barat mempunyai tutup telinga kekuningan. Iris coklat, paruh dan kaki hitam.
Suara:
Keras, kasar ”ciulk-ciulk-ciulk” atau ”cak-cak-cuh-ciliuliuliu”.
Penyebaran global:
Endemik di Sumatera, Jawa, dan Bali.
Penyebaran lokal dan status:
Umum terdapat di gunung-gunung di Sumatera, Jawa, dan Bali pada ketinggian 800 – 3.000 m.
Kebiasaan:
Menyukai pinggir hutan dan ruang terbuka di tengah-tengah hutan di pegunungan  sampai zona Vaccinium di puncak tertinggi. Burung aktif yang bersuara keras. Hidup sendirian atau dalam kelompok kecil.

CUCAK KUTILANG (Pycnonotus aurigaster)
Deskripsi:
Berukuran sedang (20 cm), bertopi hitam dengan tunggir keputih-putihan dan tungging jingga kuning. Dagu dan kepala atas hitam. Kerah, tunggir, dada, dan perut putih. Sayap hitam, ekor coklat. Iris merah, paruh dan kaki hitam.
Suara:
Merdu dan nada nyaring ”cuk-cuk”, dan ”cang-kur” yang diulangi cepat.
Penyebaran global:
Cina Selatan, Asia Tenggara (kecuali Semenanjung Malaysia), dan Jawa. Diintroduksi ke Sumatera dan Sulawesi Selatan. Baru-baru ini mencapai Kalimantan Selatan.
Penyebaran lokal dan status:
Terdapat di Sumatera. Di Sumatera Selatan mungkin kolonisasinya datang dari Jawa. Catatan pertama Kalimantan (Palangkaraya) tahun 1984. Di Jawa dan Bali, merupakan salah satu jenis yang tersebar paling luas dan umum, sampai ketinggian sekitar 1.600 m.
Kebiasaan:
Hidup dalam kelompok yang aktif dan ribut, sering berbaur dengan jenis Cucak lain. Lebih menyukai pepohonan terbuka atau habitat bersemak, di pinggir hutan, tumbuhan sekunder, taman, dan pekarangan, atau bahkan kota besar.

DECU BELANG (Saxicola caprata)
Deskripsi:
Berukuran kecil (13 cm), hitam dan putih. Jantan berwarna hitam seluruhnya, kecuali garis putih mencolok pada sayap, dan tungging putih. Betina bercoretan coklat, dan tunggir coklat muda. Burung remaja coklat dan berbintik-bintik. Iris coklat tua; paruh hitam; kaki hitam.
Suara:
Tanda bahaya ”ceh” yang memaki dan kicauan yang merdu ”cip-cipii-cewiicu”.
Penyebaran global:
Iran sampai Cina Barat daya, Asia Tenggara. Filipina, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan P.Irian.
Penyebaran lokal dan status:
Tercatat di Kalimantan bagian utara, diperkirakan pengembara dari Asia. Baru-baru ini ditemukan di Lampung, Sumatera. Penetap di Jawa dan Bali di mana burung ini umum terdapat di pedesaan terbuka, terutama di tempat kering bagian timur. Biasanya burung dataran rendah tetapi kadang-kadang mencapai ketinggian 2.400 m.
Kebiasaan:
Burung yang hidup di daerah berumput terbuka, kering. Bertengger secara mencolok di puncak semak, batu, tiang atau kabel, dan terbang menggelepar mengejar mangsa serangga kecil. Menegakkan ekornya jika berkicau atau sedang gelisah.

GELATIK-BATU KELABU (Parus major)
Deskripsi:
Berukuran kecil (13 cm), dengan warna hitam, abu-abu, dan putih. Kepala dan kerongkongan hitam, kecuali bercak putih mencolok di sisi muka. Dibedakan dari Gelatik Jawa oleh paruhnya yang hitam kecil.
Suara:
Kicauan ribut ”ci-wiit” atau ”ci-ci-ci”.
Penyebaran global:
Palearktik, India, Cina, Asia Tenggara, Semenanjung Malaysia, Sunda Besar.
Penyebaran lokal dan status:
Di Sumatera, Jawa, dan Bali tidak jarang tetapi penghuni lokal di temukan di hutan mangrove daerah pantai sampai ketinggian 2.000 m. Di Kalimantan burung ini jauh lebih jarang, sebagian besar terbatas di hutan mangrove dan hutan pantai, walaupun cukup umum di sekitar Banjarmasin.
Kebiasaan:
Mengunjungi hutan mangrove, pekarangan dan hutan terbuka. Burung kecil yang lincah, bergerak aktif naik turun di puncak pohon atau di permukaan tanah. Memakan beragam makanan tetapi kebanyakan serangga yang dikumpulkan di pohon. Berburu dalam kelompok keluarga atau berpasangan.

JINGJING BATU (Hemipus hirundinaceus)
Deskripsi:
Berukuran kecil (15 cm), berwarna hitam dan putih. Pada jantan, bagian atas hitam dengan tunggir dan sisi bulu ekor terluar putih, bagian bawah putih. Betina mirip dengan jantan, tetapi warna hitam diganti dengan cokelat. Perbedaannya dengan Jingjing bukit yaitu tidak ada garis putih pada sayap, dengan sepah padang yaitu bagian atas berwarna gelap dan tunggir putih, dengan kapasan kemiri dan sikatan belang yaitu tidak adanya alis putih. Iris coklat, paruh hitam, kaki hitam.


Suara:
Keras dan serak “ ti-ti-ti-ti, hii-tiit-tiit-tiit “ atau hii-tu-wiit “ berubah-ubah dengan suara tinggi “ ciit-wiit-wiit-wiit “.
Penyebaran global:
Semenanjung Malaysia dan Sunda besar.
Penyebaran lokal dan status:
Cukup umum di dataran rendah dan perbukitan, sampai ketinggian 1.100 meter di Sumatra (termasuk pulau-pulau di sekitarnya), dan Kalimantan (termasuk pulau-pulau di Kalimantan bagian Utara), serta minimal sampai ketinggian 1.500 meter di Jawa dan Bali.
Kebiasaan:
            Mengunjungi pinggir hutan. Hidup berpasangan atau dalam kelompok kecil, sering berbaur dengan burung jenis lain, beterbangan di antara pucuk-pucuk pohon kecil.

KACAMATA BIASA (Zosterops palpebrosus)
Deskripsi:
Berukuran kecil (11 cm), berwarna hijau kekuningan. Ras buxtoni dan auriventer yang terdapat di ujung paling barat Jawa, Kalimantan, dan Sumatera sangat mirip Kacamata gunung. Perbedaannya: ada garis kuning sempit di bawah perut tengah, paha abu-abu muda. Ras melanurus di tempat lain di Jawa: tubuh bagian bawah kuning, ada bercak kuning di atas paruh, tubuh bagian atas hijau-zaitun, tenggorokan dan tungging kuning, hanya sedikit atau sama sekali tidak ada warna kuning di atas kekang. Iris coklat-kuning, paruh coklat tua, kaki abu-abu-zaitun.
Suara:
Cicitan “ciw” yang tinggi, “tiri-tiri-tiri” “dzi-da-da”, suara metalik berulang “dza-dza”, atau “tsi-tsi-tsi” yang lembut. Cicitan terus menerus jika dalam kelompok.
Penyebaran global:
India Utara sampai Cina Selatan, Asia Tenggara, Semenanjung Malaysia, dan Sunda Besar.


Penyebaran lokal dan status:
Umum di dataran rendah dan perbukitan di Sumatera (termasuk pulau-pulau di sekitarnya), Jawa, dan Bali sampai ketinggian 1.400 m. Di Kalimantan, jarang ditemukan di hutan mangrove dan daerah pesisir, tercatat di Natuna Selatan, Pontianak, dan Serawak barat daya.
Kebiasaan:
Sering mengunjungi tumbuhan primer dan tumbuhan sekunder. Membentuk kelompok besar yang bebas dengan jenis lain seperti sepah. Beterbangan di antara puncak-puncak pohon tertinggi.

KACAMATA GUNUNG (Zosterops montanus)
Deskripsi:
            Berukuran kecil (11 c), berperut putih atau abu-abu. Tubuh bagian atas hijau zaitun, perut keputih-putihan, sisi tubuh kecoklatan. Tiga ras berbeda-beda dalam ciri-cirinya, tetapi semua dapat dibedakan dengan burung kacamata lain oleh tidak adanya warna kuning pada perut dan iris yang putih khas. Iris putih, warna atas hitam, paruh bawah lebih pucat, kaki hitam.
Suara:
            Cicitan bernada tinggi.
Penyebaran global:
            Filipina, Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara.
Penyebaran lokal dan status:
            Di Sumatera tercatat di pegunungan Selatan dari Sibayak. Di Jawa dan Bali umum terdapat di puncak-puncak gunung utama (di antara ketinggian 1.500-3.000 m). Kecuali di G. Gede Pangrango. Tercatat sampai ketinggian 900 m di lembah Kerinci, tetapi jarang terdapat di bawah ketinggian 1.800 m.
Kebiasaan:
            Bersifat sosial, kelompok di puncak pohon. Bersuara tidak henti-hentinya dan berburu serangga kecil


KANGKOK RANTING (Cuculus saturatus)
Deskripsi:
Berukuran kecil (26 cm), berwarna abu-abu dengan garis-garis hitam lebar pada perut dan sisi perut. Jantan dan betina: perut dan tubuh bagian atas abu-abu, ekor abu-abu kehitaman tidak bergaris-garis, tubuh bagian bawah kuning tua bergaris-garis hitam. Anak burung dan betina bentuk hepatik: tubuh bagian atas coklat kemerahan, bergaris-garis hitam tebal, tubuh bagian bawah keputih-putihan, bergaris-garis hitam sampai ke dagu. Iris kuning, lingkaran mata kuning, paruh keabu-abuan, kaki kuning kejinggaan.
Suara:
Ras penetap Kalimantan insulindae: suara merdu terdiri dari nada lembut diikuti dua nada datar: ”hoop hoop-hoop”. Ras di Sumatera dan Jawa: juga bernada tiga yang sama. Ras migran: sebenarnya suara bernada empat sebab nada merdunya tidak ada, tetapi suara tidak terdengar selama berada di daerah kunjungannya pada musim dingin.
Penyebaran global:
Ras migran berbiak di Erasia Utara dan Himalaya, bermigrasi pada musim dingin ke Asia Tenggara dan Sunda Besar. Ras penetap hanya terdapat di Sunda Besar.
Penyebaran lokal dan status:
Ras penetap Kalimantan umum ditemukan di pegunungan antara ketinggian 1.300–2.700 m. Ras Jawa dan Sumatera lepidsus sesekali ditemukan pada semua ketinggian. Ras-ras migran musim dingin saturatus dan horsfieldi sering ditemukan di dataran rendah.
Kebiasaan:
Bersembunyi pada tajuk-tajuk hutan. Jarang terlihat, kecuali terdengar setiap saat pada masa berbiak (Februari - Maret).






KIPASAN EKOR-MERAH (Rhipidura phoenicura)
Deskripsi:
Berukuran sedang (17 cm), berekor merah. Kepala dan punggung abu-abu, alis putih halus, dagu dan tenggorokan putih. Dada atas abu-abu, berubah menjadi jingga-coklat berangan pada perut dan tungging. Sayap coklat berangan tua. Iris coklat, paruh dan kaki hitam.
Suara:
Kicauan mirip Kipasan belang, tetapi lebih nyaring: ”hi-ti-ti-ti-oh-wiit” dan variasi lainnya. Juga suara kontak ”ci-tiw” yang mirip Seriwang Asia.
Penyebaran global:
Endemik di Jawa.
Penyebaran lokal dan status:
Terbatas di hutan pegunungan Jawa antara ketinggian 1.000 – 2.500 m. Tidak terdapat di daerah timur dari G. Lawu, penghuni yang cukup umum secara lokal.
Kebiasaan:
Mirip Kipasan lain. Burung hutan yang aktif. Hidup sendirian atau berpasangan, biasanya bergabung dalam kelompok campuran, berterbangan pada tajuk tengah. Bergaya khas dengan mengembangkan dan menggoyangkan ekornya.

KOWAK-MALAM ABU (Nycticorax nycticorax)
Deskripsi:
Berukuran sedang (61 cm), berkepala besar, bertubuh kekar, berwarna hitam dan putih. Dewasa: mahkota hitam, leher dan dada putih, dua bulu panjang tipis terjuntai dari tengkuk yang putih, punggung hitam, sayap dan ekor abu-abu. Betina lebih kecil daripada jantan. Selama waktu berbiak: kaki dan kekang menjadi merah. Remaja: Tubuh coklat bercoretan dan berbintik-bintik, harus ditangkap dulu jika hendak membedakannya dengan remaja Kowak-malam merah. Iris kuning (remaja) atau merah terang (dewasa), paruh hitam (dewasa: merah), kaki kuning kotor.
Suara:
”wok” atau ”kowak” yang parau sewaktu terbang, dan uakan serak jika terganggu.
Penyebaran global:
Terdapat hampir di seluruh dunia.
Penyebaran lokal dan status:
Pengunjung di luar waktu berbiak ke Sumatera dan Kalimantan bagian utara. Penetap di Kalimantan dan Jawa. Di Jawa, Kowak-malam merah kadang-kadang ikut bersarang dalam koloni.
Kebiasaan:
Beristirahat di atas pohon pada siang hari. Sebelum keluar mencari makan pada waktu senja, berputar-putar di atas tempat istirahat sambil mengeluarkan suara kuakan parau. Pada malam hari, mencari makan di sawah, padang rumput, dan pinggir sungai. Bersarang di dalam koloni yang ribut di pohon, biasanya di atas air. Cara terbang agak mirip kalong.

OPIOR JAWA (Lophozosterops javanicus)
Deskripsi:
Berukuran agak besar (13 cm), berwarna zaitun buram. Kepala, tenggorokan, dan dada abu-abu, tubuh bagian atas hijau-zaitun, perut kuning pucat. Tiga ras beragam, dilihat dari luas tanda putih pada kepala dan kadar warna putih pada lingkar mata (ras Jawa Barat: paling sedikit). Ciri khas: tenggorokan abu-abu. Iris coklat, paruh dan kaki hitam.
Suara:
Deringan nada-nada tinggi: ”chi-i-wiit, chi-i-wiwit”, atau dengungan ”tiirr-tiirr” yang mirip peluit wasit, juga nyanyian nyaring merdu. Lebih bergetar dibandingkan dengan suara kacamata lain.
Penyebaran global:
Endemik di Jawa dan Bali.
Penyebaran lokal dan status:
Terbatas di gunung-gunung tinggi (di atas ketinggian 1.500 m). Dapat dibagi atas empat ras dengan populasi diperkirakan terisolasi, tetapi umum terdapat di beberapa tempat di hutan yang agak tinggi.

Kebiasaan:
Berbaur bebas dalam kelompok dengan jenis lain (terutama cikrak), terbang di antara tajuk rendah di hutan gunung. Seperti burung kacamata lain, lincah dan tidak kenal lelah.

PELATUK KUNDANG (Reinwardtipicus validus)
Deskripsi:
Berukuran agak besar (30 cm), berwarna-warni. Terlihat semampai, leher panjang. Sayap dan ekor hitam, kontras dengan tubuh yang pucat. Jantan: jambul dan kerongkongan merah, tersapu jingga pada punggung dan tunggir, tubuh bagian bawah kemerahan. Betina: jambul coklat gelap, punggung putih, tubuh bagian bawah abu-abu. Keduanya: bulu sayap primer dan sekunder bergaris-garis coklat berangan. Iris kuning-jingga, paruh kekuningan, kaki abu-abu kemerahan.
Suara:
Berbagai dengungan yang khas pelatuk. Getaran ”ca-ca-ca”, ”whit-whit-whit-whit-whiiow” yang cepat keras, nada tinggi berulang: ”pit” atau ”pelliit”, dan teriakan peringatan: ”tuwiitit-tuwiitit”.
Penyebaran global:
Semenanjung Malaysia, Kalimantan, Sumatera, dan Jawa. Di Bali tidak ada.
Penyebaran lokal dan status:
Cukup umum di Kalimantan dan Sumatera. Di Jawa, tidak umum di dataran rendah, kadang-kadang terdapat di hutan hujan primer atau hutan hujan sekunder pegunungan sampai ketinggian 2.200 m. Terutama terdapat di Jawa Barat.
Kebiasaan:
Bertingkah laku khas pelatuk. Hidup berpasangan atau dalam kelompok kecil. Ribut dan mematuk bergema ketika mencari makan pada semua tingkatan di hutan.





PERENJAK COKLAT (Prinia polychroa)
Deskripsi:
Berukuran agak besar (15 cm), bercoret coklat dengan ekor panjang. Tubuh bagian atas coklat, sedikit bercoret atau berbintik. Ekor coklat dengan ujung putih kecil, alis mata keputih-putihan tidak mencolok. Tubuh bagian bawah kuning tua, lebih putih pada kerongkongan, dada abu-abu, sisi tubuh dan paha coklat. Dibandingkan dengan Perenjak padi, punggung berwarna lebih tua dan bercoretan lebih banyak. Iris coklat kemerahan, paruh atas coklat, paruh bawah berwarna pucat, kaki keputih-putihan.
Suara:
”Twii-i-i-it” keras menurun dan diulangi terus, dengan  variasinya.
Penyebaran global:
Cina barat daya, Asia Tenggara (kecuali Semenanjung Malaysia), dan Jawa.
Penyebaran lokal dan status:  
Tersebar luas tetapi tidak umum, sampai ketinggian 1.500 m di Jawa.
Kebiasaan:
Menghuni padang alang-alang dan semak rendah. Pemalu dan sulit dilihat, tinggal pada kerimbunan. Hidup berpasangan atau dalam kelompok keluarga, tetapi tidak seribut dan semencolok Perenjak Jawa.

PERENJAK JAWA (Prinia familiaris)
Deskripsi:
Berukuran agak besar (13 cm), berwarna zaitun. Ekor panjang, dengan garis sayap putih khas serta ujung hitam-putih. Tubuh bagian atas coklat-zaitun, tenggorokan dan dada tengah putih; sisi dada dan sisi tubuh abu-abu, perut dan tungging kuning pucat. Iris coklat, paruh atas hitam, paruh bawah kekuningan, kaki merah jambu.
Suara:
Keras bernada tinggi: ”cwuit-cwuit-cwuit”. Suara tanda bahaya: ”hii-hii-hii’.

Penyebaran global:
Endemik di Sumatera, Jawa, dan Bali.
Penyebaran lokal dan status:
Di Sumatera tidak jarang sampai ketinggian 900 m, walaupun tidak terlihat di Sumatera Utara. Sangat umum sampai ketinggian 1.500 m di Jawa dan Bali.
Kebiasaaan:
Menghuni hutan mangrove dan habitat sekunder terbuka, terutama kebun dan taman. Ribut, suka berkelompok kecil. Berburu di sekitar permukaan tanah sampai puncak pohon.

PUYUH BATU (Coturnix chinensis)
Deskripsi:
Berukuran sangat kecil (15 cm), bertubuh montok. Jantan: berwarna gelap dengan tanda putih pada bercak tenggorokan yang hitam. Bagian sisi kepala, dada, dan bagian sisi tubuh biru tua; perut dan bagian bawah ekor coklat berangan. Betina berwarna lebih pucat. Bagian atas bercoret coklat, bagian bawah kuning kebo dengan garis-garis pada dada, bagian sisi tubuh dan alis kuning kebo. Iris coklat, paruh hitam, kaki kuning.
Suara:
Biasanya diam, kecuali siulan manis yang sedih : ‘ti-ti-yiw’ dan ‘tir-tir-tir-tir’ lembut.
Penyebaran global:
India, Cina, Asia Tenggara, Filipina, dan Indonesia, sampai P.Irian, dan Australia.
Penyebaran lokal dan status:
Di Sunda Besar, tidak jarang dijumpai di dataran rendah yang cocok sampai ketinggian 1.300 m.
Kebiasaan:
Mengunjungi daerah padang rumput kering yang terbuka, daerah sawah yang sudah dituai, daerah alang-alang, dan daerah pertanian yang kosong. Sebagian bersifat nokturnal, dan biasa terlihat pada siang hari ketika terusir dari tempatnya bersembunyi.

SERAK BUKIT (Phodilus badius)
Deskripsi:
Berukuran sedang (27 cm), berwarna coklat kemerahan. Agak mirip Serak Jawa, dengan bentuk muka seperti hati dan kadang-kadang ”telinga” tegak. Tubuh bagian atas coklat kemerahan dengan bintik-bintik hitam dan putih. Tubuh bagian bawah kuning kemerahjambuan dengan bintik hitam, muka kemerahjambuan. Iris gelap, paruh coklat, kaki coklat kotor.
Suara:
Lembut dan berdering”huuh-wiiyuu”, juga siulan, merdu mengharukan ”kwankwit-kwankwit-kek-kek-kek”, dikeluarkan sewaktu terbang pada malam hari.
Penyebaran global:
India, Cina Selatan, Asia Tenggara, Filipina, Kalimantan, Sumatera, Belitung, Jawa, dan Bali.
Penyebaran lokal dan status:
Burung hutan yang jarang terdapat sampai ketinggian 1.500 m.
Kebiasaan:
Kebiasaan sedikit diketahui. Pemalu, burung hutan malam. Biasa duduk merebah pada siang hari, seperti paruh-kodok.

SIKATAN BELANG (Ficedula westermanni)
Deskripsi:
Berukuran kecil (11 cm), berwarna hitam dan putih (jantan) atau coklat dan putih (betina). Jantan: alis, garis sayap, pinggir pangkal ekor, dan tubuh bagian bawah putih, tubuh bagian atas hitam. Betina: tubuh, bagian atas coklat keabu-abuan, tubuh bagian bawah keputih-putihan, ekor merah karat. Remaja: coklat berbintik kuning kecoklatan. Iris coklat, paruh dan kaki hitam.
Suara:
Secara teratur mengeluarkan kicauan bernada tinggi yang lemah, nada-nada pertama naik, kemudian turun ”pi-pi-pi-pi-pi” diselingi getaran rendah ”crrr” dan ”tii’.

Penyebaran global:
India sampai Cina Selatan, Filipina, Asia Tenggara, Semenanjung Malaysia, Sunda Besar dan Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku.
Penyebaran lokal dan status:
Umum terdapat secara lokal di hutan pegunungan, antara ketinggian 1.000 – 2.600 m di seluruh Sunda Besar.;
Kebiasaan:
Sering mengunjungi hutan pegunungan, hutan lumut, dan hutan cemara gunung. Mencari makan pada semua tingkat tajuk. Sering bergabung dalam kelompok campuran.

SIKATAN BIRU-MUDA (Cyornis unicolor)
Deskripsi:
Berukuran agak besar (16 cm), berwarna biru muda (jantan) atau kecoklatan (betina). Jantan: tubuh bagian atas biru pirus terang, kekang hitam, tenggorokan dan dada biru lebih muda, perut putih keabu-abuan, penutup ekor bawah putih. Betina: tubuh bagian atas coklat-abu-abu, ekor lebih coklat-merah bata, tubuh coklat, berbintik hitam dan kuning kecoklatan. Iris, paruh, dan kaki coklat.
Suara:
Nyanyian manis, nyaring, menurun, kemudian tiga nada terakhir menaik lagi. Juga suara parau (kadang-kadang).
Penyebaran global:
Himalaya sampai Cina Selatan, Asia Tenggara, Semenanjung Malaysia, dan Sunda Besar.
Penyebaran lokal dan status:
Di Sumatera ditemukan di gunung-gunung ke selatan sampai G. Kerinci. Di Kalimantan dan Jawa tidak umum terdapat di hutan perbukitan antara ketinggian 500 – 1.400 m, secara lokal sampai ketinggian 200 m di Kalimantan. Di Bali tidak tercatat.
Kebiasaan:
Tinggal pada tajuk di hutan primer. Agak pemalu.


SIKATAN BIRU-PUTIH (Cyanoptila cyanomelana)
Deskripsi:
Berukuran besar (17 cm), berwarna biru, hitam, dan putih (jantan) atau coklat dan putih (betina). Jantan: muka, tenggorokan, dan dada atas hitam; dada bawah, perut, dan penutup ekor bawah putih, tubuh bagian atas biru mengilap, ada bercak putih pada pangkal ekor. Betina: tubuh bagian atas coklat abu-abu, sayap dan ekor coklat; tenggorokan tengah dan perut putih. Iris coklat, paruh dan kaki hitam.
Suara:
Umumnya diam di daerah musim dingin.
Penyebaran global:
Berbiak di Asia timur laut, bermigrasi ke selatan sampai Cina, Asia Tenggara, Filipina, dan Sunda Besar.
Penyebaran lokal dan status:
Pengunjung musim dingin yang teratur sampai ketinggian 1.400 m ke Kalimantan bagian utara, tetapi kurang umum di seluruh Kalimantan. Di Sumatera dan Jawa, pengunjung musim dingin yang jarang ke hutan perbukitan sampai ketinggian 1.200 m. Di Bali tidak tercatat.
Kebiasaan:
Mengunjungi hutan primer dan hutan sekunder. Mencari makan pada tajuk pohon yang cukup tinggi. Juga memakan beberapa macam buah-buahan.

SIKATAN EMAS (Ficedula zanthopygia)
Deskripsi:
Berukuran kecil (13 cm), berwarna kuning, putih, dan hitam (jantan) atau coklat (betina). Jantan: tunggir, tenggorokan, dada, dan perut atas kuning, perut bawah dan penutup ekor bawah putih. Bagian lain hitam, kecuali alis dan garis sayap putih. Betina: tubuh bagian atas coklat buram, tubuh bagian bawah berwarna lebih pucat, tunggir kuning buram. Perbedaannya dengan jantan dan betina Sikatan narsis: alis putih, punggung jantan lebih hitam, dan tunggir betina kuning. Iris coklat, paruh dan kaki hitam.
Suara:
Khas: “pirip, pirip...”yang merdu, diselingi “tiit”. Kadang-kadang juga terdengar kicauan yang pendek.
Penyebaran global:
Berbiak di Asia timur laut, mengembara pada musim dingin ke selatan sampai Cina Selatan, Asia Tenggara, dan Sunda Besar.
Penyebaran lokal dan status:
Pengunjung musim dingin yang tidak umum, sampai ketinggian 900 m di Sumatera. Di Kalimantan tercatat hanya di Anambas, Brunei dan Kalimantan Selatan. Di Jawa dan Bali agak jarang, terdapat secara teratur di beberapa tempat.
Kebiasaan:
Mengunjungi daerah bersemak dan pohon rimbun. Lebih sering terdengar daripada terlihat.
           
SIKATAN-RIMBA DADA-COKLAT (Rhinomyias olivacea)
Deskripsi:
            Berukuran sedang (15 cm), berwarna kecoklatan. Tubuh bagian atas coklat keabu-abuan, tersapu merah karat pada tungging dan ekor. Dagu dan tenggorokan keputih-putihan, gari tebal melintang pada dada berwarna kuning kecoklatan (bukan abu-abu), perut dan ekor bawah keputih-putihan. Iris coklat, paruh hitam, kaki merah jambu.
Suara:
            Dengungan yang memanjang, nada konstan per detik, diselingi dengan nyanyian yang terburu-buru. Frase nyanyian terdiri dari tujuh sampai sembilan nada dengan nada yang berbeda. Setiap frase memakan waktu sekitar 1,5 detik, khas nyanyian sikatan.
Penyebaran global:
            Semenanjung Malaysia, dan Sunda Besar.
Penyebaran lokal dan status:
            Di Jawa, Bali, dan Sumatera (termasuk Belitung), agak jarang di dataran rendah sampai ketinggian 1.200 m. Ditemukan hanya secara lokal di Kep. Natuna, Banggi, dan Belambangan (Kalimantan bagian Utara).
Kebiasaan:
            Mengunjungi pinggir hutan, hutan sekunder, dan perkebunan. Tinggal pada tajuk bawah. Berburu sendirian di antara dedaunan, terbang mengejar serangga.

Pada pengamatan burung ini digunakan metode Point Count yaitu suatu penghitungan data burung yang dilakukan dari lokasi dan rentang waktu yang telah ditentukan  dengan pasti dan jarak perhitungannya tidak terbatas. (Reynolds dkk, 1980, Buckland 1987). Cara pengamatannya adalah dengan menentukan titik-titik pengamatan pada jarak tertentu. Jarak antara titik pengamatan yang satu dengan yang lain tidak boleh terlalu dekat, hal ini bertujuan agar individu suatu jenis tidak terhitung lebih dari satu kali. Jarak antara titik pada pengamatan ini kurang lebih 300 langkah. Jumlah titik pengamatan seluruhnya ada 7 dan pada tiap titik berhenti selama 10 menit untuk melakukan pengamatan. Burung yang diamati adalah burung yang hinggap di pohon. Pada daerah pengamatan dilakukan metode point count adalah untuk mengefektifkan waktu yang sedikit.
            Lokasi pengamatan sensus burung dengan teknik point count  ini dilakukan di daerah Kamojang, Garut. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 170/Kpts/Um/3/1979, tanggal 13-3-1979 hutan pegunungan seluas 8.000 Ha di Kamojang ini ditunjuk sebagai Cagar Alam  seluas 7.500 Ha dan Taman Wisata Alam seluas 500 Ha. Kemudian dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 110/Kpts-11/90 tanggal 14 Maret 1990, CA dan TWA Kamojang ditetapkan seluas 8.286 Ha (CA 7.805 Ha). Menurut administrasi pemerintahan kawasan konservasi Kamojang teletak dalam dua wilayah, yaitu : termasuk wilayah Desa Cibeet, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung dan termasuk wilayah Desa Randukurung, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut. Keadaan lapangan secara umum topografinya bergelombang dengan ketinggian tempat antara 500 - 1.000 meter di atas permukaan laut. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, iklimnya termasuk tipe iklim B dengan rata-rata curah hujan per tahun 2.500 - 3.000 mm. Di daerah ini terdapat hutan primer dan hutan sekunder. Hutan primer terdiri dari beraneka ragam pepohonan sedangkan hutan sekunder didominasi oleh hutan pinus.
Flora yang terdapat di Vegetasi Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Kamojang termasuk tipe hutan hujan tropik pegunungan dengan floranya terdiri dari jenis-jenis pohon dan liana serta epiphyte. Jenis-jenis pohon yang banyak terdapat adalah : Jamuju (Podocarpus imbricatus), Puspa (Schima walichii), Saninten (Castanopsis tungurut), Pasang (Quercus sp) dan lain lain. Sedangkan jenis tumbuhan bawah didominasi oleh jenis Cantigi (Vaccinium sp) dan jenis liana dan epiphyt adalah Rotan (Calamus sp), Seuseureuhan (Piper aduncum), Pungpurutan (Urena lobata), Hangosa (Amoemun dealatum), Kandaka (Dryanaria sp), Benalu (Diplazium esculenteum) dan Meranti Merah (Shorea sp) dan lain lain.
Sedangkan Satwa liar yang ada di kawasan ini antara lain : Babi hutan (Sus vitatus), Kijang (Muntiacus muntjak), Macan Tutul (Panthera pardus), Musang (Paradoxurus hertnaproditus), Trenggiling (Manis javanicus), Surili (Presbytis comata), Lutung (Trachypithecus auratus), Ayam hutan (Gallus guilus), Burung Belibis (Anas sp), Burung Kuntul (Egretta sp) dan lain-lain. Juga terdapat beberapa jenis ikan hidup di sungai-sungai.
            Berdasarkan hasil pengamatan pada hutan primer diketahui bahwa jumlah spesies burung yang paling banyak adalah Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides)  dengan jumlah individu 47 ekor, dengan kelimpahan jenisnya 20,43 %. Bondol Jawa banyak ditemukan karena burung ini sangat umum ditemukan dan tersebar luas di Jawa sampai ketinggian 1500 meter. Selain itu Bondol ini ditemukan pada hampir semua jenis lahan pertanian dan lahan berumput alami, selain itu juga Bondol ini banyak menghabiskan waktunya dengan bersuara kerikan gaduh dan menyelisik di pohon-pohon besar. Sedangkan jumlah spesies yang paling sedikit antara lain Jingjing batu, Pelatuk kundang, Kangkok ranting, Cucak kutilang, Kowak-malam abu, Asi topi-sisik, Berencet berkening, Serak bukit, Sikatan biru putih, Cinenen pisang, Decu belang, dan Gelatik batu kelabu. Dengan jumlah individu masing-masing 1 ekor dan kelimpahan jenisnya 0,43 %. Burung-burung tersebut kelimpahannya paling kecil karena kebanyakan habitat dari burung-burung tersebut adalah hutan terbuka, sedangkan daerah pengamatan merupakan hutan primer yang vegetasinya cukup rapat dimana jarak antara pepohonan sangat dekat dan jarang terdapat semak-semak. Selain itu, ada beberapa burung yang hidup di daerah hutan dengan ketinggian lebih dari 1500 meter. Dan juga ada pula yang hanya aktif pada malam hari dan beristirahat di pohon pada siang hari seperti kowak-malam abu.
            Pada pagi hari antara pukul 07.00 sampai pukul 10.00  banyak burung yang ditemukan dibandingkan dengan pengamatan yang dilakukan pada siang hari antara pukul 13.00 sampai pukul 16.00. Hal ini disebabkan pada siang hari cuaca mendung dan turun hujan sehingga pengamatan dihentikan
            Kelimpahan dan kepadatan burung yang kami temukan memang berbeda-beda. Dan ini dapat terjadi karena faktor vegetasi. Vegetasi yang berada di wilayah transek antara lain :


1.      Saninten.
2.      Rotan.
3.      Pinus.
4.      Paku.
5.      Pisang.
6.      Huru Payung.
7.      Ki Hujan.
8.      Ki Ara.
9.      Ki Hiur.
10.  Anggrek Hutan.
11.  Pulus.
12.  Cerem.
13.  Bambu.
14.  Anggrek tanah.
15.  Ficus geocarpa.


Berbedanya tanaman-tanaman vegetasi yang ada di wilayah transek sangat berpengaruh terhadap jenis-jenis burung yang ada di wilayah transek ini. Karena makanan dari burung–burung serta daerah yang akan menjadi sarangmya juga berbeda-beda. Selain itu juga, burung-burung pun harus memikirkan kemungkinan perlindungan bagi dirinya dari predator.
            Populasi burung dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya :
  1. Perubahan cuaca
  2. Bencana alam
  3. Predator
  4. Persediaan makanan
  5. Penyakit
  6. Parasit sarang
  7. Misbah sex yang abnormal
  8. Tingkah laku teritorial
  9. Aktivitas manusia
(Yus Rusilo, 1987)
Berdasarkan pengamatan burung yang telah kami lakukan di hutan pinus Arboretum Situ Cibeureum pada tanggal 16 dan 17 Desember 2006, oleh angkatan 2004 didapatkan hasil seperti pada tabel data pengamatan. Burung yang paling banyak ditemukan pada lokasi tersebut adalah Kacamata Biasa dan Opior Jawa, masing-masing sebanyak 46 ekor dan dengan kelimpahan jenisnya masing-masing 14,8 %. Spesies Opior Jawa banyak ditemukan di wilayah ini karena Opior Jawa adalah spesies yang endemik di wilayah Jawa dan Bali serta terbatas di gunung-gunung tinggi (di atas ketinggian 1.500 m). Dapat dibagi atas empat ras dengan populasi diperkirakan terisolasi, tetapi umum terdapat di beberapa tempat di hutan yang agak tinggi. Dan Opior Jawa yang kami temukan biasanya ditemukan berkelompok karena mereka memiliki kebiasaan berbaur bebas dalam kelompok dengan jenis lain (terutama Cikrak), terbang di antara tajuk rendah di hutan gunung. Sedangkan Kacamata biasa juga banyak ditemukan di daerah ini karena memang Kacamata biasa terdapat umum di dataran rendah dan perbukitan di Jawa dan Bali sampai ketinggian 1.400 meter dan karena mereka memiliki kebiasaan sering mengunjungi tumbuhan primer dan tumbuhan sekunder. Membentuk kelompok besar yang bebas dengan jenis lain seperti sepah. Beterbangan di antara puncak-puncak pohon tertinggi.
Sedangkan burung yang paling sedikit ditemukan adalah Burung Hantu, Perkutut, Pergam Gunung, Jingjing Batu, dan Cingcoang Biru, masing-masing sebanyak 1 spesies. Dalam hal ini burung-burung di atas jarang ditemukan karena burung-burung ini jarang ditemukan di wilayah lebih dari 1500 meter. Burung yang penyebarannya paling merata adalah Kacamata Biasa (ciri-cirinya paruh runcing, badan kehijauan, ujung sayap dan ekor berwarna hitam), Kapinis dan Opior Jawa, hal ini dapat terlihat dari nilai FR yang mencapai 100 %.
Burung yang kelimpahannya dominan adalah Bondol Jawa (ciri-cirinya perut putih, tidak terlihat adanya coretan putih), Kacamata Biasa, Kapinis, Opior Jawa, Cinenen Gunung (ciri-cirinya mahkota jingga kemerah-merahan, bagian bawah ekor kuning, alisnya pucat) dan Sikatan Biru Muda.
            Pada pengamatan yang kami lakukan ditemukan Elang Brontok, Walet Sapi, Walet Gunung, dan Alap-alap. Dan ini karena mungkin spesies-spesies ini sedang terbang untuk mencari makan atau sedang bermigrasi dan lewat daerah itu.
            Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa terdapat sedikit perbedaan jenis burung antara Hutan Pinus dan Hutan Primer. Di Hutan Primer ternyata jumlah spesiesnya lebih sedikit bila dibandingkan dengan Hutan Primer dan ini mungkin karena di Hutan Primer vegetasi yang terdapat di dalamnya lebih bervariasi dan telah dijelaskan di atas bahwa vegetasi pun sedikit berpengaruh terhadap keberadaan burung karena beberapa burung memakan biji-bijian dari tanaman tertentu dan juga beberpa burung membuat sarang di tanaman yang mereka anggap tinggi.

V.        KESIMPULAN
1.   Spesies yang ditemukan di Hutan Primer antara lain : Asi topi-sisik  (Malacopteron cinereum), Berencet berkening (Napothera epilepidota), Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides), Burung madu Jawa (Aethopyga mystacalis), Cabai polos (Dicaeum concolor), Ceret gunung (Cetlia vulcania), Cikrak bambu (Abroscopus superciliaris), Cikrak daun (Phylloscopus trivirgatus), Cinenen Jawa (Orthotomus sepium), Cinenen pisang (Orthotomus sutorius), Cucak gunung (Pycnonotus bimaculatus), Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster), Decu belang (Saxicola caprata), Gelatik-batu kelabu (Parus major), Jingjing batu (Hemipus hirundinaceus), Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus), Kacamata gunung (Zosterops montanus), Kangkok ranting (Cuculus saturatus), Kipasan ekor-merah (Rhipidura phoenicura), Kowak-malam abu (Nycticorax nycticorax), Opior Jawa (Lophozosterops javanicus), Pelatuk  kundang (Reinware dtipicusvalidus), Perenjak cokelat (Prinia polichroa), Perenjak Jawa (Prinia familiaris), Puyuh batu (Coturnix chinensis), Serak bukit (Phodilus badius), Sikatan belang (Ficedula westermanni), Sikatan biru-muda (Cyornis unicolor), Sikatan biru-putih (Cyanoptila cyanomelana), Sikatan emas (Ficedula zanthopygia), dan Sikatan-rimba dada coklat (Rhinomyias olivacea.
2.   Spesies yang ditemukan di Hutan Pinus antara lain : Cinenen Jawa (Orthotomus sepium), Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides), Sikatan, Kacamata Biasa (Zosterops palpebrosus), Capinnis ( Apus affinis ), Spesies A, Spesies B, Cikrak Daun (Phylloscopus trivirgatus), Perenjak Jawa (Prinia familiaris), Spesies C, Spesies D, Pipit, Burung Hantu , Burung Madu Sriganti ( Nectarinia jugularis ), Siruit Uncuing, Ficedula zanthopygia, Perkutut ( Geopelia striata ), Oplor Jawa (Lophozosterops javanicus), Ceceret Jawa ( Psaltria erxilis), Sikatan Rimba Gunung (Rhinomyias gularis), Cinenen Gunung ( Orthotomus cuculatus ), Kacamata Gunung (Zosterops montanus), Pergam Gunung ( Duchula badia ), Sikatan Biru Putih (Cyanoptila cyanomelana), Jingjing Batu (Hemipus hirundinaceus), Kicuit Kerbau ( Motacilla flava ), Cingcoang Biru ( Brachypteryx montana ), dan Sikatan Biru Muda (Cyornis unicolor)
3.   Spesies yang kelimpahannya tertinggi di Hutan Primer adalah Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides) dengan nilai 20.43 %.
4.   Spesies yang kelimpahannya tertinggi di Hutan Pinus adalah Oplor Jawa (Lophozosterops javanicus) dan Kacamata Biasa (Zosterops palpebrosus) dengan nilai sana yaitu 14,8%.
5.   Spesies yang kelimpahannya terrendah di Hutan Pinus adalah Cingcoang Biru (Brachypteryx montana), Jingjing Batu (Hemipus hirundinaceus), Pergam Gunung (Duchula badia), Perkutut ( Geopelia striata ), Burung Hantu, Spesies C, dan Spesies B dengan nilai masing-masing 0,32%.
6.   Spesies yang kelimpahannya terrendah di Hutan Primer adalah Asi topi-sisik  (Malacopteron cinereum), Berencet berkening (Napothera epilepidota), Cinenen pisang (Orthotomus sutorius), Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster), Decu belang (Saxicola caprata), Gelatik-batu kelabu (Parus major), Jingjing batu (Hemipus hirundinaceus), Kangkok ranting (Cuculus saturatus), Kowak-malam abu (Nycticorax nycticorax), Pelatuk  kundang (Reinware dtipicusvalidus), Sikatan biru-putih (Cyanoptila cyanomelana), Serak bukit (Phodilus badius) dengan nilai masing-masing 0,43%.
7.   Spesies yang kepadatannya tertinggi di Hutan Pinus antara lain Kacamata Biasa (Zosterops palpebrosus) dan Opior Jawa (Lophozosterops javanicus) dengan nilai masing-masing 46 ekor.
8.   Spesies yang kepadatannya tertinggi di Hutan Primer adalah Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides) dengan nilai 47 ekor.
9.   Spesies yang kepadatannya terendah di Hutan Pinus antara lain adalah Cingcoang Biru (Brachypteryx montana), Jingjing Batu (Hemipus hirundinaceus), Pergam Gunung (Duchula badia), Perkutut ( Geopelia striata ), Burung Hantu, Spesies C, dan Spesies B dengan nilai masing-masing 1 ekor.
10. Spesies yang kepadatannya terendah di Hutan Primer Asi topi-sisik  (Malacopteron cinereum), Berencet berkening (Napothera epilepidota), Cinenen pisang (Orthotomus sutorius), Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster), Decu belang (Saxicola caprata), Gelatik-batu kelabu (Parus major), Jingjing batu (Hemipus hirundinaceus), Kangkok ranting (Cuculus saturatus), Kowak-malam abu (Nycticorax nycticorax), Pelatuk  kundang (Reinware dtipicusvalidus), Sikatan biru-putih (Cyanoptila cyanomelana), Serak bukit (Phodilus badius) dengan nilai masing-masing 1 ekor.
11. Spesies yang dominan di Hutan Primer adalah Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides).
12. Spesies yang dominan di Hutan Pinus antara lain Kacamata Biasa (Zosterops palpebrosus) dan Opior Jawa (Lophozosterops javanicus.

 DAFTAR PUSTAKA

Ardley, N.1979. Burung, Pustaka pengetahuan Modern. Jakarta : PT. Dainippon Gitakarya Printing.

MacKinnon, J. Phillips, K. Balen, Van Bas. 1992. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan.. Jakarta : Puslitbang Biologi-LIPI

Rusilo, Y. 1988. Studi Populasi Burung Kaitannya dengan Usaha Konservasi di daerah Pantai Indramayu dan Pantai Cirebon. Bandung. Biologi Unpad.

Storer, T.l.dan Usinger, R. L. 1957. General Biology Third Edition. New York : Mc Graw Hill Book.co. Inc.

Sriganti


cinenen kelabu

1 Responses So Far:

Anonim mengatakan...

keren....b"d

 
Prapatan SPS Copyright © 2010 Prozine Theme is Designed by Lasantha Home | RSS Feed | Comment RSS